Cerpen : Waktu yang Tepat

Placeholder Image

WAKTU YANG TEPAT

“Dimas, kau tak tahukah kau betapa merepotkannya dirimu?” Keluhku saat membantunya membawakan kantong belanjaan yang berisi perlengkapan untuk persiapan lebaran tahun ini.

“Bukankah sudah seharunya seorang tetangga membantuku.”

“Kau tidak masuk akal.”

“Apa kau marah, Goguma?”

“Berhenti memanggilku Goguma!”

Aku berjalan mendahuluinya dengan cepat, terdengar jelas sekali dibelakangku suara Mark yang tertawa dengan sangat bahagia.

 

Aku dan Mark sudah menjadi tetangga selama tiga tahun. Aku datang dari Indonesia untuk kuliah di Korea, sedangkan Mark datang dari LA juga untuk mengambil studi seni juga. Kami tinggal di apartemen yang sama, kamarku berada di 1604 sedangkan kamarnya berada di 1603.

Kami tergolong dekat dan akrab, karena kami juga sama-sama bukan orang Korea, awal datang kemari aku sering membantu Mark yang masih kesusahan menggunakan Bahasa Korea. Syukurlah Bahasa Inggrisnya tidak terlalu buruk, tergolong lancar tentu saja.

Sudah selama tiga kali natal pula, aku dan Mark menghabiskan waktu bersama. Aku tidak bisa pulang ke Indonesia, begitu pula Mark. Akhirnya kami memutuskan untuk selalu minum bersama, sekedar menghabiskan malam natal dengan sebuah kenangan.

 

“Goguma~ tunggu aku~”

“Aku tidak mendengarmu~” aku terus saja berjalan dengan cepat meninggalkan Mark dibelakangku. Tidak aku pedulikan tawanya yang terdengar seolah mengejekku, Mark selalu seperti itu.

Mark masih tertawa lepas lalu– GREP. Aku merasakan tangannya berada memeluk punggungku dari belakang.

“Kau lucu sekali ketika marah seperti itu, Guma-ya.”

“Lepaskan aku, Mark.” Ucapku dengan nada mengancam.

“Tidak, Guma.”

Aku menghembuskan napas berat, “Kenapa kau selalu memanggilku Goguma?”

“Eung?” Mark menahan tawanya, “Kau selalu makan ubi manis (Goguma) selama enam bulan terakhir ini.”

Ya, aku memang sedang dalam program diet. Aku tidak seperti Mark yang makan sebanyak apapun tidak akan gemuk.

“Baiklah, lepaskan aku.” Aku memaksa pelukan Mark terlepas dari diriku.

Aku berusaha mengatur napas dan degup jantungku yang tidak karuan. Baiklah, aku jujur jika aku menyukai Mark. Bagaimana tidak? Kami sudah tiga tahun bersama, saling membantu satu sama lain dan juga saling berbagi. Bagaimana tidak? Mungkin, di Amerika hal seperti ini tergolong ‘biasa’ saja. Tapi, Aku adalah orang Indonesia. Kalian tahu apa yang aku maksud, ‘kan?

Ya, aku harus mengatur emosiku.

Aku terdiam dan terus berjalan hingga sampai di halte bus yang akan membawa kami menuju apartment. Aku duduk di kursi tunggu halte, Mark mengecek jadwal kedatangan bus.

“Syukurlah masih ada bus terakhir.” Gumam Mark namun masih dapat aku dengarkan dengan baik.

 

Aku terdiam menunduk, terkadang aku sendiri berpikir tentang bagaimana hubunganku dengan Mark. Aku rasa, dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku selma tiga tahun belakangan ini.

Pernah suatu saat, aku memutuskan untuk pindah apartment dan memilih untuk mengubur perasaanku. Dan kalian tahu? Mark memohon dan menangis, dia tidak mengizinkan aku. Namun aku tidak mengindahkannya. Tiga hari berikutnya saat aku baru saja bersiap akan pindah dan memutuskan untuk berpamitan dengannya aku menemukan Mark sedang tertidur di sofa dengan keadaan mengenaskan.

Di meja ada banyak makanan berserakan dan kondisi Mark yang sangat berantakan, Mark meringkuk dengan wajah pucat dan menggigil, dia demam tinggi. Hal itu membuatku mengurungkan niatku untuk pindah apartment.

Aku terkurung dengan makhluk bernama Mark Tuan ini.

 

Sebuah sorot lampu yang menyilaukan mataku membuat lamunanku terbuyarkan, ada bus datang.

“Mark, ini bus kita?”

“Yaps, naiklah akan aku bawakan ini semua.”

Bus itupun berhenti dan aku mulai naik untuk membayar busnya sedangkan Mark sedang tergopoh membawa belanjaan natal itu.

Bus terlihat kosong, tidak ada satu orangpun. Aku menghela napas berat, tentu saja ini malam natal, siapa pula yang akan menghabiskan perjalanan diluar kalo tidak bocah blasteran LA-Taiwan itu.

“Guma-ya, duduk di belakang saja.” Ujar Mark yang berjalan dibelakangku.

Aku mengangguk dan memilih untuk duduk di kursi paling belakang dipojok dekat jendela. Mark duduk disebelahku dan meletakkan belanjannya di kursi sebelahnya.

“Terimakasih, Guma-ya. Kau akan membantuku menghias pohon natal nanti kan?” tanya Mark sembari tersenyum lebar.

“Eung, asal ada minuman dan ayam disana.”

“Deal!” ucap Mark dengan nada tawa yang ceria dan melengking itu.

Aku tidak dapat menahan senyumku, terkadang dia tampak lebih imut daripada pria-pria yang lebih muda darinya.

Jalanan di Seoul pun terlihat lengang, benar-benar kondisi malam natal. Apartment kami masih cukup jauh, dan aku sudah mulai bosan jika terus seperti ini.

“Nah.” Mark menyodorkan satu buah earphone, “Pakailah, aku tahu kau bosan.”

Aku tersenyum seraya mengambil earphone itu dari Mark dan memakaikannya di telinga, “Jangan putar lagu rock, putar lagu yang manis. Ini malam natal.”

“Kau ingin begitu? Baiklah.”

Aku masih melihat keluar jendela, terlihat bayangan Mark masih memilih lagu yang akan dia mainkan.

Satu.. dua.. tiga.. terdengar suara musik manis dengan lonceng ala natal mengalun indah memasuki telingaku.

Hundreds of confessions without success
I feel so unconfident should I just go back
I say I’ll confess for sure but it’s pointless with no actions in the end
Can’t keep my head up in front of you

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali ketika mendengarkan lirik lagu yang diputar oleh Mark. Lagu apa ini?

I’m in love with you, why are these words so hard
I keep hesitating to say over and over again
Why is it so hard just to write a simple letter
I keep writing and tearing it over and over again

You may not feel the same way as I do
I may never see you again, that’s what I’m afraid of
Don’t have the courage to tell you
With this song let me open my heart to you

GREP. Mark mengenggam tanganku dengan erat, aku mendongakkan kepalaku dan kini mataku telah terjebak didalam mata Mark. Tatapannya sangat berbeda..

 

I love you, baby I~ I love you~

For a very long time
I love you~ baby I~ I love you~

I do~

 

CLICK. Aku bisa mendengar Mark menekan tombol pause dari iPod nya karena lagu indah yang menalun itu tiba-tiba berhenti.

“Guma-ya..”

Aku mengerjapkan mataku, benar-benar terlarut dalam manik mata Mark yang begitu dalam menatapku.

“Maafkan aku, aku sudah menunda terlalu lama untuk hal ini. Tapi aku harap ini belum terlambat.”

Jantungku berdegup kencang seolah ia ingin mencuat dari dadaku. Mark menempelkan tanganku ke dadanya, aku menelan ludahku ketika aku bisa merasakan degup jantung Mark yang sama kencangnya dengan jantungku.

“Angel, aku mencintaimu. Maukah kau menemaniku hingga maut yang memisahkan kita?”

DEG. Jantungku seolah berhenti sesaat, jadi selama ini Mark merasakan hal yang sama denganku?

“Mark.…” aku memberanikan diri untuk membuka suara setelah tersenyum manis kepada pria yang sangat aku sayangi itu, “Bahkan aku akan terus menemanimu tanpa kau meminta.”

Mark terdiam, tidak ada jawaban. Namun, aku dapat melihat perubahan tatapannya. Benar-benar berubah.

Marl mendekatkan bibirnya ketelingaku dan berbisik Mark, “Aku menyayangimu.”

Aku tersenyum, “Aku juga, Mark Tuan.”

Mark tanpa ragu menarik dan mendekapku dengan erat. Akhirnya, sebuah pelukan hangat dimalam natal kali ini menghiasi kisahku dan Mark.

 

– END –

 

 

Tinggalkan komentar